Senin, 24 September 2012 , 00:24:00
Marshal Manengkei, Komponis Kelas Dunia yang Pilih Habiskan Hari Tua di Indonesia
Berencana Bikin Pengolah Sampah dan Stasiun TV
Maarschalk Manengkei, wereldklasse componist die ervoor kiest om zijn oude dag door te brengen in Indonesië Plannen om een verwerking van afval en het TV-station op te zetten.
Marshal Condrat Jules Manengkai, seorang pencipta lagu-lagu taraf internasional yang saat ini memutuskan tinggal di Indonesia. Marshal tinggal di Belanda selama 46 tahun dan sampai saat ini aktif berkarya di bidang seni, khususnya mengarang lagu. Foto : Diptawahyu/Jawa Pos
Bakat musik Marshal Conradt Jules Manengkei terasah berkat interaksinya dengan komunitas Indo Belanda di Belanda yang juga melahirkan Daniel Sahuleka serta Eddie van Halen. Dia kembali ke Indonesia karena pesan sang ayah.
D.S. ELISABET NOVILILIANA, Surabaya
DI USIA yang sudah memasuki 63 tahun, suara pria berpostur tinggi besar dengan kulit terang dan rambut abu-abu merata itu masih terjaga ketika melantunkan sepenggal lirik lagu yang pernah sangat populer di akhir 1970-an, Song for the Children:
Follow me, follow me
It's a beautiful day
Sing a song for the children
Memang, penyanyi kelahiran Suriname Oscar Harris-lah yang membuat lagu yang ditulis pada 1979 itu mendunia. Tapi, pria berambut abu-abu yang ditemui Jawa Pos di sebuah hotel di Surabaya beberapa hari lalu itulah yang menciptakan lagu tersebut: Marshal Conradt Jules Manengkei.
"Ceritannya, ketika itu Unesco (badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan) mencanangkan 1979 sebagai Hari Internasional Anak-Anak. Jadilah orang ramai-ramai membuat lagu dengan tema anak-anak," kenang pria murah senyum itu dalam bahasa Indonesia yang lancar diselingi celetukan dalam bahasa Jawa sesekali.
Lahirlah kemudian sejumlah lagu yang lantas menjadi klasik. Di antaranya, I Have a Dream yang ditulis Benny Anderson dan Bjorn Ulveaus dari band legendaris Swedia ABBA. Dua puluh tahun berselang, lagu tersebut dinyanyikan ulang boyband asal Republik Irlandia, Westlife.
Tak kalah populernya dengan I Have a Dream adalah Song for the Children yang ditulis oleh Marshal. "Saya ingin membuat lagu yang memang langsung ditujukan bagi anak-anak," tutur pria yang menikah dua kali -dua-duanya berakhir dengan penceraian- dan tak dikaruniai anak itu.
Song for the Children hanyalah salah satu pencapaian besar Marshal sebagai komponis kelas dunia. Deret kesuksesannya juga termasuk menjadi produser sekaligus penulis lagu untuk The Blue Diamonds, duo vokal Belanda yang populer sejak 1960-an, dan band legendaris Tielman Brothers, pionir rock and roll di Negeri Kincir Angin dan kemudian termasyhur di Eropa sebagai pencipta genre Indorock di Eropa. Tielman bahkan lebih dulu memainkan rock and roll bila dibandingkan dengan The Beatles.
Sebuah keberhasilan yang tak diraih dengan mudah. Digapai setelah menapaki sekian onak: berimigrasi dari tanah kelahiran, adaptasi yang tak mudah di negara baru, diskriminasi dari lingkungan sekitar, dan kepergian ayahanda tercinta.
Lahir di Surabaya, Marshal, dua orang tua, dan empat adiknya dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya itu pada 1965. Tragedi politik yang berujung kepada pembantaian ratusan ribu hingga jutaan jiwa kala itu membuat ayah Marshal yang berdarah Manado merasa Indonesia tak aman dan nyaman lagi ditinggali.
Marshal dan keluarga yang sama sekali tak punya darah Belanda itu lantas berimigrasi ke negeri tetangga Belgia tersebut dan mendarat di Maastricht. Segera setelah mereka menjejak ibu kota Provinsi Limburg di bagian selatan Negeri Kincir Angin tersebut, berlaksa kesulitan menerpa.
"Kami pendatang, Indo Belanda (menurut Marshal, ini sebutan untuk warga asal Indonesia yang berimigrasi ke Belanda. Tapi, umumnya, Indo Belanda adalah sebutan untuk orang berdarah Indonesia dan Belanda, Red) tidak diperlakukan baik saat itu. Ada diskriminasi yang sangat kuat," tuturnya sedih.
Belum lagi perubahan status dari sebuah keluarga yang sangat berada di Indonesia menjadi keluarga yang harus bekerja ekstra untuk penghasilan yang tak sepadan. "Ayah tidak bisa melawan. Kami semua yang Indo Belanda tidak bisa," tambah dia.
Alhasil, selalu memendam perasaan tertekan, sang ayah itu pun terkena stroke dan meninggal hanya sembilan bulan setelah keluarga tersebut tiba di Belanda. Di usia yang baru 17 tahun, Marshal sebagai anak tertua pun harus mengambil alih tanggung jawab menghidupi keluarga.
Marshal muda bekerja paro waktu di sela jam sekolahnya. "Beruntung, saat itu saya dan adik pertama saya bersekolah di sekolah umum, setara SMA," kata dia.
Itu, menurut dia, hasil upaya keras sang ayah ketika tiba di Belanda. Dua adiknya yang lain, sama dengan warga Indo Belanda yang tinggal di sana, hanya diperbolehkan masuk sekolah khusus. Setiap hari membuat kerajinan tangan, sangat sedikit belajar ilmu pengetahuan.
"Hasil karya mereka untuk memenuhi permintaan pabrik. Mereka semacam dimanfaatkan," ujar Marshal.
Meski tenaga sangat terkuras, Marshal tidak pernah mengesampingkan sekolah. Dia menyadari, hanya lewat pendidikanlah dirinya berpeluang meningkatkan taraf kehidupan keluarga.
Begitulah, pulang sekolah Marshal akan bekerja di restoran, lalu berpindah ke pabrik hingga tengah malam. Baru setelah itu dia pulang untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Tidur 3-4 jam saja, lalu bangun pagi-pagi untuk berjualan koran sebelum berangkat ke sekolah.
Salah satu yang menjadi pemacu semangatnya adalah sang ibu. Semula ibunya seorang istri pejabat yang tak bersentuhan langsung dengan pekerjaan rumah tangga. Semua dikerjakan juru masak, pelayan, dan tukang kebun.
Namun, di Belanda, terutama setelah ayahanda Marshal meninggal, ibunya tak segan mengerjakan semua. Mulai memasak, merapikan rumah, hingga mengurus anak. "Saya menyaksikan Ibu yang tak ragu mengubah kebiasaan. Saya pun terpacu makin bersemangat sekolah dan kerja," tuturnya.
Di sela-sela sekolah dan bekerja yang tak menyisakan banyak waktu itu, Marshal masih menyempatkan diri menggeluti hobinya. Yakni, menyanyi dan bermusik. Dia bergabung sebuah band di sekolah.
Setiap akhir bulan, yakni pada Jumat malam, Marshal berkumpul dengan sesama warga Indo Belanda di Hertogenbosch, ibu kota Provinsi North Brabant yang juga berada di selatan Belanda. Mayoritas yang berkumpul adalah orang Manado dan Ambon. "Kami main musik dan menyanyi bersama sambil makan camilan," kenangnya dengan wajah berseri.
Meski tujuannya hanya bersenang-senang, lewat kumpul-kumpul di Hertogenbosch itulah bakat musik Marshal terasah. Dari sana pula lahir sederet penyanyi dan pemusik hebat, mulai Bob Tutupoli, Ahmad Albar, Daniel Sahuleka, hingga Eddie van Halen.
Eddie van Halen" Seperti terungkap dalam wawancara santai antara Eddie dan kakaknya, Alex van Halen, dengan David Lee Roth, yang diunggah ke situs Van-Halen.com dan dikutip Rolling Stone Indonesia Februari lalu, gitaris sekaligus pendiri supergrup Van Halen itu menjelaskan bahwa ibunya, Eugenia, berdarah Indonesia. Tepatnya, separo Indonesia, separo Belanda, dan lahir di Rangkasbitung, ibu kota Lebak, Banten.
Hasil pergumulan musikalnya di Hertogenbosch itu, kemampuan Marshal menulis lagu juga kian terasah. Selepas SMA dan masuk jurusan arsitektur di salah satu universitas, satu demi satu lagu lahir dari tangan pria yang piawai bermain gitar itu. "Saya melihat antusias masyarakat dengan lagu-lagu warga Indo Belanda meskipun ada juga yang tidak suka," ungkapnya.
Yang tidak suka umumnya karena dipicu pilihan musik para musisi Indo Belanda, yaitu pop dan rock yang ketika itu masih tergolong asing di Belanda. Tak mengherankan, Tielman Brothers yang mulai bermusik dengan aliran tersebut sejak 1950-an dianggap sebagai pionir rock and roll di negeri yang wilayah daratannya lebih rendah daripada lautannya itu. "Orang-orang heran dan tercengang lihat anak muda nyanyi sambil jingkrak-jingkrak," kata Marshal, lantas tertawa.
Setelah berhasil rekaman untuk lagunya, Play Me a Love Song, pada 1973, Marshal yang memakai nama panggung Noby Dick tergerak menjadi produser. Dia semakin rajin menciptakan lagu dan pada 1974 menggawangi rekaman untuk The Blue Diamonds.
Mengusung single Ramona, band itu terkenal hingga ke salah satu kiblat musik dunia, Amerika Serikat. Ramona sempat mendudukkan duo berdarah Indonesia itu di peringkat I di Billboard.
Tahun berikutnya, giliran Tielman Brothers -para personelnya juga keturunan Indonesia- yang turut dikawalnya berkarya. Lagu lain yang diciptakan Marshal, antara lain, adalah My Love yang dinyanyikan Rosy and Andress dan Somewhere Between yang versi Indonesia dinyanyikan oleh Titik Sandora. "Saya malah tidak tahu-menahu siapa yang menerjemahkan (Somewhere Between)," kata Marshal sembari tersenyum geli.
Tuwuk berkiprah di dunia musik, Marshal pun lalu teringat kembali ke pesan sang ayah. "Beliau berpesan agar saya kembali ke Indonesia dan berbagi ilmu jika telah mereguk sukses," katanya.
Memasuki usia 40-an tahun saat pesan itu terngiang kembali, Marshal bertekad memulai lembar baru kehidupan. Berharap dikarunia umur setidaknya hingga tiga dekade lagi, dia berkomitmen membagi hidupnya menjadi tiga tahap.
Sepuluh tahun pertama untuk bekerja sesuai dengan bidang kuliahnya, yakni arsitek. Sepuluh tahun berikutnya, bekerja untuk pemerintah Belanda. Dan, sepuluh tahun terakhir, untuk melakukan hal yang dia inginkan dengan menggabungkan dua pengalaman sebelumnya. "Pilihan saya, berkarya untuk Indonesia," katanya perlahan namun pasti.
Desember tahun lalu rencana ketiga diwujudkan dengan memilih tinggal di Indonesia, tepatnya di Sidoarjo, tetangga kota tanah kelahirannya, Surabaya. Setumpuk rencana sudah memenuhi kepalanya untuk mengisi hari-hari tua di negeri yang tetap dicintainya kendati puluhan tahun ditinggalkan ini. Di antaranya, Marshal ingin membangun pabrik untuk mengolah sampah.
Menurut pengamatan dia, pengolahan sampah di Indonesia saat ini adalah teknologi yang dipakai di Eropa 20 tahun silam. Daur ulang sampah plastik, misalnya. Hasil daur ulang yang kemudian beredar tidak terlalu bagus kualitasnya. "Dengan teknik yang lebih maju, bijih plastik yang dihasilkan dari daur ulang bisa sebagus semula," paparnya.
Marshal juga ingin terus berkarya di bidang musik. Selain itu, dia berniat membangun stasiun TV. "Saya belum bisa cerita banyak karena masih rencana. Tapi, intinya saya ingin berperan memperbaiki dunia entertainment di Indonesia," jelas dia yang berencana berkarya bareng sang konco lawas, Bob Tutupoly. (*/ttg)
D.S. ELISABET NOVILILIANA, Surabaya
DI USIA yang sudah memasuki 63 tahun, suara pria berpostur tinggi besar dengan kulit terang dan rambut abu-abu merata itu masih terjaga ketika melantunkan sepenggal lirik lagu yang pernah sangat populer di akhir 1970-an, Song for the Children:
Follow me, follow me
It's a beautiful day
Sing a song for the children
Memang, penyanyi kelahiran Suriname Oscar Harris-lah yang membuat lagu yang ditulis pada 1979 itu mendunia. Tapi, pria berambut abu-abu yang ditemui Jawa Pos di sebuah hotel di Surabaya beberapa hari lalu itulah yang menciptakan lagu tersebut: Marshal Conradt Jules Manengkei.
"Ceritannya, ketika itu Unesco (badan PBB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan) mencanangkan 1979 sebagai Hari Internasional Anak-Anak. Jadilah orang ramai-ramai membuat lagu dengan tema anak-anak," kenang pria murah senyum itu dalam bahasa Indonesia yang lancar diselingi celetukan dalam bahasa Jawa sesekali.
Lahirlah kemudian sejumlah lagu yang lantas menjadi klasik. Di antaranya, I Have a Dream yang ditulis Benny Anderson dan Bjorn Ulveaus dari band legendaris Swedia ABBA. Dua puluh tahun berselang, lagu tersebut dinyanyikan ulang boyband asal Republik Irlandia, Westlife.
Tak kalah populernya dengan I Have a Dream adalah Song for the Children yang ditulis oleh Marshal. "Saya ingin membuat lagu yang memang langsung ditujukan bagi anak-anak," tutur pria yang menikah dua kali -dua-duanya berakhir dengan penceraian- dan tak dikaruniai anak itu.
Song for the Children hanyalah salah satu pencapaian besar Marshal sebagai komponis kelas dunia. Deret kesuksesannya juga termasuk menjadi produser sekaligus penulis lagu untuk The Blue Diamonds, duo vokal Belanda yang populer sejak 1960-an, dan band legendaris Tielman Brothers, pionir rock and roll di Negeri Kincir Angin dan kemudian termasyhur di Eropa sebagai pencipta genre Indorock di Eropa. Tielman bahkan lebih dulu memainkan rock and roll bila dibandingkan dengan The Beatles.
Sebuah keberhasilan yang tak diraih dengan mudah. Digapai setelah menapaki sekian onak: berimigrasi dari tanah kelahiran, adaptasi yang tak mudah di negara baru, diskriminasi dari lingkungan sekitar, dan kepergian ayahanda tercinta.
Lahir di Surabaya, Marshal, dua orang tua, dan empat adiknya dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya itu pada 1965. Tragedi politik yang berujung kepada pembantaian ratusan ribu hingga jutaan jiwa kala itu membuat ayah Marshal yang berdarah Manado merasa Indonesia tak aman dan nyaman lagi ditinggali.
Marshal dan keluarga yang sama sekali tak punya darah Belanda itu lantas berimigrasi ke negeri tetangga Belgia tersebut dan mendarat di Maastricht. Segera setelah mereka menjejak ibu kota Provinsi Limburg di bagian selatan Negeri Kincir Angin tersebut, berlaksa kesulitan menerpa.
"Kami pendatang, Indo Belanda (menurut Marshal, ini sebutan untuk warga asal Indonesia yang berimigrasi ke Belanda. Tapi, umumnya, Indo Belanda adalah sebutan untuk orang berdarah Indonesia dan Belanda, Red) tidak diperlakukan baik saat itu. Ada diskriminasi yang sangat kuat," tuturnya sedih.
Belum lagi perubahan status dari sebuah keluarga yang sangat berada di Indonesia menjadi keluarga yang harus bekerja ekstra untuk penghasilan yang tak sepadan. "Ayah tidak bisa melawan. Kami semua yang Indo Belanda tidak bisa," tambah dia.
Alhasil, selalu memendam perasaan tertekan, sang ayah itu pun terkena stroke dan meninggal hanya sembilan bulan setelah keluarga tersebut tiba di Belanda. Di usia yang baru 17 tahun, Marshal sebagai anak tertua pun harus mengambil alih tanggung jawab menghidupi keluarga.
Marshal muda bekerja paro waktu di sela jam sekolahnya. "Beruntung, saat itu saya dan adik pertama saya bersekolah di sekolah umum, setara SMA," kata dia.
Itu, menurut dia, hasil upaya keras sang ayah ketika tiba di Belanda. Dua adiknya yang lain, sama dengan warga Indo Belanda yang tinggal di sana, hanya diperbolehkan masuk sekolah khusus. Setiap hari membuat kerajinan tangan, sangat sedikit belajar ilmu pengetahuan.
"Hasil karya mereka untuk memenuhi permintaan pabrik. Mereka semacam dimanfaatkan," ujar Marshal.
Meski tenaga sangat terkuras, Marshal tidak pernah mengesampingkan sekolah. Dia menyadari, hanya lewat pendidikanlah dirinya berpeluang meningkatkan taraf kehidupan keluarga.
Begitulah, pulang sekolah Marshal akan bekerja di restoran, lalu berpindah ke pabrik hingga tengah malam. Baru setelah itu dia pulang untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Tidur 3-4 jam saja, lalu bangun pagi-pagi untuk berjualan koran sebelum berangkat ke sekolah.
Salah satu yang menjadi pemacu semangatnya adalah sang ibu. Semula ibunya seorang istri pejabat yang tak bersentuhan langsung dengan pekerjaan rumah tangga. Semua dikerjakan juru masak, pelayan, dan tukang kebun.
Namun, di Belanda, terutama setelah ayahanda Marshal meninggal, ibunya tak segan mengerjakan semua. Mulai memasak, merapikan rumah, hingga mengurus anak. "Saya menyaksikan Ibu yang tak ragu mengubah kebiasaan. Saya pun terpacu makin bersemangat sekolah dan kerja," tuturnya.
Di sela-sela sekolah dan bekerja yang tak menyisakan banyak waktu itu, Marshal masih menyempatkan diri menggeluti hobinya. Yakni, menyanyi dan bermusik. Dia bergabung sebuah band di sekolah.
Setiap akhir bulan, yakni pada Jumat malam, Marshal berkumpul dengan sesama warga Indo Belanda di Hertogenbosch, ibu kota Provinsi North Brabant yang juga berada di selatan Belanda. Mayoritas yang berkumpul adalah orang Manado dan Ambon. "Kami main musik dan menyanyi bersama sambil makan camilan," kenangnya dengan wajah berseri.
Meski tujuannya hanya bersenang-senang, lewat kumpul-kumpul di Hertogenbosch itulah bakat musik Marshal terasah. Dari sana pula lahir sederet penyanyi dan pemusik hebat, mulai Bob Tutupoli, Ahmad Albar, Daniel Sahuleka, hingga Eddie van Halen.
Eddie van Halen" Seperti terungkap dalam wawancara santai antara Eddie dan kakaknya, Alex van Halen, dengan David Lee Roth, yang diunggah ke situs Van-Halen.com dan dikutip Rolling Stone Indonesia Februari lalu, gitaris sekaligus pendiri supergrup Van Halen itu menjelaskan bahwa ibunya, Eugenia, berdarah Indonesia. Tepatnya, separo Indonesia, separo Belanda, dan lahir di Rangkasbitung, ibu kota Lebak, Banten.
Hasil pergumulan musikalnya di Hertogenbosch itu, kemampuan Marshal menulis lagu juga kian terasah. Selepas SMA dan masuk jurusan arsitektur di salah satu universitas, satu demi satu lagu lahir dari tangan pria yang piawai bermain gitar itu. "Saya melihat antusias masyarakat dengan lagu-lagu warga Indo Belanda meskipun ada juga yang tidak suka," ungkapnya.
Yang tidak suka umumnya karena dipicu pilihan musik para musisi Indo Belanda, yaitu pop dan rock yang ketika itu masih tergolong asing di Belanda. Tak mengherankan, Tielman Brothers yang mulai bermusik dengan aliran tersebut sejak 1950-an dianggap sebagai pionir rock and roll di negeri yang wilayah daratannya lebih rendah daripada lautannya itu. "Orang-orang heran dan tercengang lihat anak muda nyanyi sambil jingkrak-jingkrak," kata Marshal, lantas tertawa.
Setelah berhasil rekaman untuk lagunya, Play Me a Love Song, pada 1973, Marshal yang memakai nama panggung Noby Dick tergerak menjadi produser. Dia semakin rajin menciptakan lagu dan pada 1974 menggawangi rekaman untuk The Blue Diamonds.
Mengusung single Ramona, band itu terkenal hingga ke salah satu kiblat musik dunia, Amerika Serikat. Ramona sempat mendudukkan duo berdarah Indonesia itu di peringkat I di Billboard.
Tahun berikutnya, giliran Tielman Brothers -para personelnya juga keturunan Indonesia- yang turut dikawalnya berkarya. Lagu lain yang diciptakan Marshal, antara lain, adalah My Love yang dinyanyikan Rosy and Andress dan Somewhere Between yang versi Indonesia dinyanyikan oleh Titik Sandora. "Saya malah tidak tahu-menahu siapa yang menerjemahkan (Somewhere Between)," kata Marshal sembari tersenyum geli.
Tuwuk berkiprah di dunia musik, Marshal pun lalu teringat kembali ke pesan sang ayah. "Beliau berpesan agar saya kembali ke Indonesia dan berbagi ilmu jika telah mereguk sukses," katanya.
Memasuki usia 40-an tahun saat pesan itu terngiang kembali, Marshal bertekad memulai lembar baru kehidupan. Berharap dikarunia umur setidaknya hingga tiga dekade lagi, dia berkomitmen membagi hidupnya menjadi tiga tahap.
Sepuluh tahun pertama untuk bekerja sesuai dengan bidang kuliahnya, yakni arsitek. Sepuluh tahun berikutnya, bekerja untuk pemerintah Belanda. Dan, sepuluh tahun terakhir, untuk melakukan hal yang dia inginkan dengan menggabungkan dua pengalaman sebelumnya. "Pilihan saya, berkarya untuk Indonesia," katanya perlahan namun pasti.
Desember tahun lalu rencana ketiga diwujudkan dengan memilih tinggal di Indonesia, tepatnya di Sidoarjo, tetangga kota tanah kelahirannya, Surabaya. Setumpuk rencana sudah memenuhi kepalanya untuk mengisi hari-hari tua di negeri yang tetap dicintainya kendati puluhan tahun ditinggalkan ini. Di antaranya, Marshal ingin membangun pabrik untuk mengolah sampah.
Menurut pengamatan dia, pengolahan sampah di Indonesia saat ini adalah teknologi yang dipakai di Eropa 20 tahun silam. Daur ulang sampah plastik, misalnya. Hasil daur ulang yang kemudian beredar tidak terlalu bagus kualitasnya. "Dengan teknik yang lebih maju, bijih plastik yang dihasilkan dari daur ulang bisa sebagus semula," paparnya.
Marshal juga ingin terus berkarya di bidang musik. Selain itu, dia berniat membangun stasiun TV. "Saya belum bisa cerita banyak karena masih rencana. Tapi, intinya saya ingin berperan memperbaiki dunia entertainment di Indonesia," jelas dia yang berencana berkarya bareng sang konco lawas, Bob Tutupoly. (*/ttg)
====================================================================================
Maarschalk Manengkei, wereldklasse componist die ervoor kiest om zijn oude dag doorbrengen in Indonesië
Plannen om een verwerking van afval en het TV-station op te zetten.
Opmerkingen