Ganti Rugi Penjajahan

Sebagai negara terjajah, Indonesia berhak meminta ganti rugi pada penjajah. Dari Jepang, dapat pampasan perang. Sedangkan dari Belanda hanya kata maaf.

Kort samengevat door historicus  Hendri F. Isnaeni,  Indonesie betaalde aan Nederland 4 miljard gulden in de periode  1950 - 1956, restschuld via traktaat van Wassenaar 0,7 miljard voor de nationalisatie van  de eigendommen / bezittingen van de 341.000 Nederlandse Indische Staatsburgers, de de republiek zijn uitgezet ( Vluchtelingen).

Ganti Rugi Penjajahan

PADA suatu waktu, ketika berada di Jepang, secara berkelakar Hermawan Kartajaya pernah bertanya kepada Kikuchi-San dari JVC: “Berapa kira-kira ‘sumbangan’ Indonesia pada masa pendudukan Jepang dahulu terhadap pembangunan jalan mengilat yang bertumpuk-tumpuk serta terowongan bawah tanah yang banyak terdapat di Tokyo itu?” 

 
Sambil tersenyum, Kikuchi-San menjawab bahwa orang Jepang, terutama generasi muda, memang mempunyai kenangan pahit terhadap dampak “militerisme” negaranya pada masa lalu. “Karena itu, Jepang merasa mempunyai kewajiban ‘moral’ untuk membayar pampasan perang kepada seluruh negara yang pernah menjadi koloninya,” kata Kikuchi-San kepada Hermawan Kertajaya dalam Marketing Klasik Indonesia.  
 
Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai suatu pertemuan di San Francisco untuk merundingkan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang –lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Beberapa negara, termasuk Indonesia, diundang.
 
Kabinet Sukiman-Suwirjo yang kala itu berkuasa terpecah, terutama antara kelompok Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menganggap tak jelas manfaatnya, dan dan Masyumi yang melihat pertemuan itu bisa mengakhiri ganjalan dalam masalah Indonesia dan Jepang. “Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia,” tulis Hadi Soesastro dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-1959).
 
Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco. Tapi, pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan, kabinet belum mencapai kata sepakat. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya: sepuluh menteri menyetujui Perjanjian Damai dan enam menteri menentang.
 
Pada 20 Januari 1958, menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi. Antara lain pampasan perang senilai US$223,080 juta serta kesediaan Jepang menanamkan modal di Indonesia dan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta. Perjanjian Damai dan Pampasan Perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.
 
“Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek… transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966.
 

Secara keseluruhan, lanjut Nishihara, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif ketimbang aspek positif. Banyak proyek tak menerima dana cukup untuk menyelesaikannya akibat inflasi di Indonesia. Pampasan juga jadi lahan korupsi.

Jika Jepang mau membayar ganti rugi atas penjajahan selama 3,5 tahun, bagaimana dengan Belanda yang menjajah jauh lebih lama? Ironis, justru Indonesia yang harus membayar ganti rugi, dan dananya untuk membantu pembangunan Negeri Belanda.

Ini terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang memutuskan sebagai imbalan atas penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 4,5 milyar gulden –awalnya Belanda meminta 6,5 milyar gulden.

Selain itu, untuk membangun kembali pascaperang, Belanda mendapatkan gelontoran dana, dalam bentuk hutang, dari program Marshall Plan AS antara tahun 1948-1951 sebesar US$1.128 juta. Sumbangan dari Marshall Plan dan Indonesia ini dikenal sebagai The Miracle of Holland (keajaiban Belanda).

Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya meski tanah jajahan itu sudah lepas,” tulis sejarawan Lambert Giebels dalam “De Indonesische Injectie” (Sumbangan Indonesia), yang dimuat di De Groene Amsterdammer, Januari 2000.

 

Setelah membayar sekira 4 milyar gulden antara tahun 1950-1956, Indonesia secara sepihak membatalkan persetujuan KMB. Belakangan, pada awal Orde Baru, berdiri Inter Govenmental Group on Indonesia (IGGI), diketuai oleh Belanda, yang punya agenda tersembunyi berupa mencari penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama, yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, sekira US$2,4 milyar.

 

Giebels tak habis pikir, mengapa Belanda tega melakukan itu kepada Indonesia. Padahal kepada Suriname, yang juga bekas jajahannya, Belanda membayar lunas ganti rugi atas perbudakan sebesar 1,5 milyar euro begitu Suriname merdeka pada 25 November 1975. Jumlah itu dianggap belum cukup. “Suriname berhak mendapat ganti rugi senilai 50 milyar euro,” kata ekonom Suriname Armand Zunder kepada Philip Smet dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Juli 2010.

 

Zunder membandingkan kasus Suriname dengan kasus lainnya. Belanda minta ganti rugi dari Jerman setelah Perang Dunia II. Jerman membayar lebih dari 120 milyar euro untuk warga Yahudi. Organisasi Internasional DiversCités sudah berseru kepada Parlemen Prancis, juga negara-negara Eropa termasuk Belanda, untuk membayar ganti rugi kepada bekas jajahannya atas peran mereka dalam perbudakan. Pada 1999, di Afrika terbentuk The Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission, sebuah komisi penyelidik internasional yang menuntut ganti rugi. Menurut hukum internasional, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

Bagaimana dengan Belanda? Jangankan ganti rugi, permintaan maaf atas penjajahan dan aksi militer di masa lalu baru disampaikan pemerintah Belanda pada 2005. Mereka juga akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan lagi 27 Desember 1949.

Saat itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memutuskan tak akan minta ganti rugi. Alasannya diplomatis: banyak cara untuk memanfaatkan momentum penyesalan Belanda ke arah pembentukan hubungan RI-Belanda yang lebih menguntungkan Indonesia. Misalnya melalui kerjasama perdagangan, investasi, dan sosial-budaya. Cara tersebut dianggap lebih menjaga martabat bangsa Indonesia, negara yang tak mengeksploitasi penderitaan masa lalu untuk memperkaya diri.

Baik sekali ya Indonesia sama Belanda.

Aldus volgens historicus dhr.  Hendri F. Isnaeni

E-mail me wanneer mensen hun opmerkingen achterlaten –

U moet lid zijn van ICM - abonnement 8 euro per maand periode 2024 - 2025 om opmerkingen toe te voegen!

Doe mee ICM - abonnement 8 euro per maand periode 2024 - 2025

Opmerkingen

  • 98

  • Op een gegeven moment, terwijl in Japan, flitste hij Hermawan Kartajaya eens vroeg Kikuchi-San van JVC: "Hoeveel is de ' donatie ' van Indonesië tijdens de Japanse bezetting van Japan tijdens de bouw van de riemen Shiny weg en de ondergrondse tunnel die overvloedig aanwezig is in Tokio?

    Glimlachend antwoordde Kikuchi-San dat de Japanners, vooral de jongere generatie, bittere herinneringen hadden aan de "militarisme" impact van het land in het verleden. "Daarom voelt Japan een ' morele ' verplichting om oorlogscompensatie te betalen aan alle landen die zijn kolonie zijn geweest," zei Kikuchi-San tegen Hermawan Kertajaya in Marketing Classic Indonesië. 

    Medio 1951 begonnen de Verenigde Staten een bijeenkomst in San Francisco om te onderhandelen over het vredes- en oorlogscompensatieverdrag met Japan – beter bekend als het Verdrag van San Francisco, dat formeel een einde maakte aan de Tweede Wereldoorlog. Sommige landen, waaronder Indonesië, zijn uitgenodigd.

    De toenmalige regerende Sukiman-Suwirjo kabinet verdeeld, vooral tussen de Indonesische Nationale Partij (PNI), die het beschouwde als onduidelijk van de voordelen ervan, en de Masyumi die zag de vergadering kon de weg te beëindigen in indonesische en Japanse kwesties. "Eindelijk neemt de regering de middenweg, bereid om aanwezig te zijn als er een voordeel voor Indonesië is," schreef Hadi Soesastro in het denken en de economische problemen in Indonesië in de laatste halve eeuw (1945-1959).

    "De compensatieovereenkomst van 1958 bestaat uit één lijst met zes categorieën programma's en projecten... Transport en communicatie, energieontwikkeling, industriële ontwikkeling, ontwikkeling van landbouw en visserij, mijnbouw en diensten of diensten, "schrijft Masashi Nishihara in Soekarno, Ratna Sari Dewi, en de oorlogscompensatie: Indonesië-Japan relaties, 1951-1966.

    Over het algemeen ging Nishihara door, compensatieprojecten bevatten meer negatieve aspecten dan positieve aspecten. Veel projecten hebben niet genoeg middelen ontvangen om het te voltooien als gevolg van de inflatie in Indonesië. Compensatie is ook een land van corruptie.

    Als Japan 3,5 jaar lang een schadevergoeding wil betalen voor kolonisatie, hoe zit het dan met de Nederlanders die veel langer koloniseerden? Ironisch, juist Indonesië dat schadevergoeding moet betalen, en zijn middelen om de ontwikkeling van de Nederlandse staat te bevorderen.

    Dit had te maken met de instemming van de Ronde Tafel conferentie (KMB) in Den Haag, Nederland, die in ruil voor de overgave van soevereiniteit aan de Republiek Indonesië op 27 december 1949 besloot, Indonesië moest schuld aan Nederland betalen voor 4,5 miljard Gulden – oorspronkelijk verzochten de Nederlanders om 6,5 miljard gulden.

    Bovendien, om de naoorlogse wederopbouw, de Nederlanders kreeg een fonds van fondsen, in de vorm van schulden, uit de Amerikaanse Marshall Plan programma tussen 1948-1951 van US $ 1,128 miljoen. Donaties van Marshall Plan en Indonesië staan bekend als The Miracle of Holland (The Miracle of The Netherlands).

    "Indie Verloren, Betekende niet ramspoed Geboren (The Indies lost, betekent niet aankomen catastrofe). De Nederlanders kunnen de voordelen van de voormalige koloniën nog steeds intrekken, ook al was de kolonie verdwenen, "schreef de historicus Lambert Giebels in" De Indonesische Injectie ,,Donatie van Indonesië), die werd gepubliceerd in De Groene Amsterdammer, januari 2000.

     

     

    Minister van Buitenlandse Zaken Achmad Soebardjo is vertrokken naar San Francisco. Maar op 7 september 1951, een paar uur voor de ondertekening van het evenement, had het kabinet niet het genoemde akkoord bereikt. Het kabinet nam ook stemmen. Het resultaat: Tien ministers keurden het vredesverdrag en zes tegengestelde ministers goed.  

    Op 20 januari 1958, naar aanleiding van de resultaten van het Verdrag van San Francisco, tekende de Indonesische regering een bilaterale overeenkomst met een compensatieovereenkomst. Onder andere US $ 223.080 miljoen oorlogscompensatie en de Japanse bereidheid om te investeren in Indonesië en op lange termijn lening na te streven aan US $ 400 miljoen. Het vredesverdrag en de oorlogscompensatie werden op 13 maart 1958 door de DPR RI aangenomen en op 27 maart 1958 afgekondigd.

    Na het betalen van ongeveer 4 miljard gulden tussen 1950-1956, Indonesië eenzijdig geannuleerd de goedkeuring van de KMB. Later, aan het begin van de nieuwe Orde, richtte intergedringemental Group on Indonesia (IGGI) op, voorgezeten door Nederland, die een verborgen agenda heeft in de vorm van de Indonesische schuldenregeling van de oude orde, die betrekking heeft op de nationalisatie van het Nederlandse bedrijf, ongeveer US $2,4 miljard.

    Giebels is niet uit de hand, waarom moesten de Nederlanders dat indonesië aandoen? Sterker nog, aan Suriname, die ook een voormalige kolonie is, betaalde Nederland de volledige schadevergoeding voor slavernij ter waarde van 1,5 miljard euro, zodat Suriname onafhankelijk was op 25 november 1975. Dit bedrag wordt als ontoereikend beschouwd. "Suriname heeft recht op een schadevergoeding van 50 miljard euro", zei de Surinaamse econoom Armand Zunder tegen Philip Smet van Radio Nederland Wereldomroep, 2 juli 2010.

    Zunder vergelijkt de Surinaamse zaak met andere zaken. Oranje vroeg na de Tweede Wereldoorlog om een schadevergoeding van Duitsland. Duitsland betaalde meer dan 120 miljard euro voor Joodse burgers. DiversCités International heeft het Franse parlement, maar ook Europese landen waaronder Nederland, opgeroepen om zijn voormalige kolonie schadevergoeding te betalen vanwege hun rol in de slavernij. In 1999 richtte Afrika de Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission op, een commissie voor internationale onderzoekers die schadevergoeding eisten. Volgens het internationaal recht wordt slavernij gecategoriseerd als een misdaad tegen de menselijkheid.

    Hoe zit het met Nederland? Om de schadeloosstelling te bewaren, heeft de Nederlandse overheid in 2005 excuses aangeboden voor kolonisatie en militaire actie. Zij gaven uiteindelijk ook 17 Augustus 1945 als proclamatiedag van Indonesische onafhankelijkheid toe, niet meer 27 December 1949.

    De Indonesische regering besloot toen via minister van Buitenlandse Zaken Hassan Wirajuda geen compensatie te vragen. De reden is diplomatiek: veel manieren om het momentum van de Nederlandse spijt te kapitaliseren naar het vestigen van RI-Nederlandse relaties die winstgevender indonesië zijn. Bijvoorbeeld door handelssamenwerking, investeringen en sociaal-cultureel. De weg wordt beschouwd als meer de waardigheid van de natie Indonesië, een land dat niet uit het verleden lijden uit te buiten om zichzelf te verrijken.

     

    Ja Indonesië is hetzelfde als Nederland.

     

    Aldus Voorhistorische DHR.  Michael F. Isnaeni

Dit antwoord is verwijderd.

Blog Topics by Tags

Monthly Archives